Monday, October 30, 2006

Merekam Jejak Sukses Tokoh-Tokoh Malang Raya

Jawa Pos - Radar Malang, Kamis 26 Oktober 2006

Risau Hilangnya Ruh Pendidikan Tinggi
Belakangan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang menjadi buah bibir. Hal itu disebabkan terobosan-terobosan yang dilakukan UIN yang kerap membuat kejutan. Gebrakan-gebrakan tersebut tak lepas dari tangan dingin sang rektor, Prof Dr H Imam Suprayogo. Bagaimana sosok pria yang bersahaja ini.

KHOLID AMRULLAH, Malang
----

Rumah Prof Dr H Imam Suprayogo di Jl Merjosari 32 Malang itu nampak sederhana. Begitu pula perabot yang ada di dalamnya. Semua biasa-biasa saja. Kesederhaan itu rupanya sudah menjadi citra Imam sebagai orang kelahiran desa terpencil di Trenggalek. Bahkan, untuk Lebaran tahun ini saja, Imam lupa mengecat rumahnya. "Ya begini ini rumah saya, sejak dulu," katanya sembari tersenyum.

Menurut dia, pernah ada kolega yang datang ke rumahnya, kolega itu kaget melihat rumah Imam. Sembari bergurau sang kolega bertanya kepada dia apakah tidak ingin memiliki rumah yang lebih bagus. Imam pun menjawab, sebagai orang gunung, dia merasa rumah itu sudah sangat bagus.

Bukan hanya masalah rumah, Imam juga paling sederhana dalam berpakaian. Percaya atau tidak, meskipun sebagai rektor, ternyata Imam hanya memiliki sepasang sepatu. Sehingga, nyaris dia tidak pernah gonta-ganti sepatu. "Pokoknya, kalau satu ini belum rusak saya ya belum ganti," ujar pria kelahiran Trenggalek pada 1951 ini.

Kesederhaan dalam berpakaian juga demikian, Imam masih sering memakai pakaian biasa. Terutama warna putih. Saking seringnya memakai pakaian warna putih, dulu, ada mantan mahasiswa Imam yang mengatakan, dirinya sering menebak warna pakaian yang dipakai Imam, ketika mengajar waktu kuliah. Dan tebakan mahasiswa tersebut seringkali benar.

Selain kesederhanaan, salah satu kepribadian Imam yang menarik rasa sosialnya yang tinggi. Dia banyak membantu warga kampung yang tidak punya pekerjaan. Kadang diminta untuk membersihkan rumah, membetulkan atap atau yang lain. Bahkan ketika mendapat parcel pada Lebaran ini Imam memberikan parcel itu kepada warga sekitarnya.

Di samping itu, Imam juga paling pandai berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Dia tidak pernah membeda-bedakan lawan bicara. Apakah itu seorang dosen, mahasiswa, atau warga kampung yang dia temui. Siapa saja yang menjadi lawan bicaranya, Imam selalu bersemangat dan menghormati lawan biacara itu. Imam menganggap penting siapa yang diajak bicara tersebut. Dia juga tidak segan-segan ngobrol dengan mahasiswa yang bertandang ke rumahnya hingga malam dengan penuh semangat meladeni.

Dalam berkomunikasi ini, Imam rupanya mengerti betul teori berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Kalau kebetulan yang diajak adalah warga kampung, digunakan bahasa kampungan yang akrab di telinga. Dia tidak menggunakan bahasa Indonesia yang formal, tetapi dengan bahasa Jawa yang sopan dan lugas. Begitu juga kalau bertemu dengan anak muda kampung yang sedikit norak, Imam tak kurang akal untuk menggojlok pemuda tersebut sampai tertawa dan terjadi komunikasi yang baik.

Rasa sosial yang tinggi itu juga terpancar dari prilakunya yang lain. Seperti, dia tak perah lupa untuk menyapa warga kampung yang sudah kenal. Dia tak malu-malu menyapa terlebih dahulu dan berhenti sejenak kemudian mengajak ngobrol. Karena, sikapnya yang demikian ini, Imam sangat dikenal di kampungnya. Menurut dia, dengan cara seperti itu sama sekali tidak mengurangi kehormatan seseorang.

Yang tak kalah menarik, Imam juga sering datang ke pos ronda, ketika mendapat giliran piket. Kemudian ngobrol warga yang sama-sama piket. Malahan dia dulu juga pernah asyik ikut membakar ketela bersama-sama. Selain itu, dia juga tak segan-segan datang ke forum tahlilan di kampung kalau memang diundang dan ada waktu. Bagi dia, mendatangi forum seperti ini adalah bagian dari bersilaturrahim dengan masyarakat.

Dia mengatakan, hal itu diakukan sebagai wujud dari ajaran Islam agar banya bersilaturrahim. Dia sangat yakin orang yang banyak silaturrahim itu akan memperbanyak teman. Teman itu, bagi dia adalah segala-galanya. Katanya, lebih baik tidak punya uang daripada tidak punya teman. " Kalau kita tidak punya uang tapi masih punya teman, berarti masih bisa pinjam kan," guraunya.

Suatu ketika, forum tahlil tersebut ingin memiliki peralatan terbang jidor. Karena tidak punya modal, jamaahpun wadul kepada Imam. Mendengar keinginan masyarakat itu, Imam pun tak segan-segan untuk membantu membelikan perlengkapan. Kini jamaah terbang jidor itu hingga sekarang terkenal dengan sebutan Jamaah Terbang Jidor Al Hijrah Merjosari.

Tetapi dibaik kesederhanaannya itu, sosok Imam memiliki semangat yang besar, terutama untuk mengembangkan pendidikan. Berbagai pengalaman telah dia miliki, mulai dari menjabat sebagai pembantu dekan FKIP UMM, dekan Fisip UMM, pembantu rektor I UMM, direktur Pasca Sarjana UMM, Ketua Majelis Pengembangan Madrasah Terpadu (MIN I, MTsN I dan MAN 3 ) Malang, dan juga menjadi wakil ketua Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Jawa Timur.

Dari pergulatannya selama di dunia pendidikan, Imam pun mulai risau dengan kondisi pendidikan tinggi yang ada saat ini. Dia menilai ada sesuatu yang kurang dari lembaga pendidikan tinggi tersebut, yaitu masalah moralitas dan keagamaan. Lembaga pendidikan tinggi seperti banyak yang tidak memiliki ruh. Dari kerisauannya itulah Imam mulai menggagas konsep pendidikan tinggi Islam.

Dia ingin para sarjana itu memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang tinggi. Dia juga ingin mengubah citra lembaga pendidikan Islam yang selama ini terkesan terbelakang menjadi lembaga pendidikan yang maju dan profesional. Namun, tidak serta merta ide Imam itu mendapat dukungan. Banyak yang meragukan, bahkan dulu banyak sekali mahasiswa yang menolak dengan aksi unjuk rasa. Karena mereka menilai ide tersebut terlalu bombastis. Tapi Imam tidak pernah bergeming, bagi dia, semuanya harus terus berjalan sesuai rencana.

Dan sekarang, hasilnya bisa dilihat, semua orang berdecak kagum melihat perubahan UIN yang sedemikian besar dan cepat. UIN menjelma menjadi universitas yang besar dan patut diperhitungkan di pentas nasional. Konsepnya yang paling terkenal adalah penggabungan antara tradisi pendidikan pesantren dan perguruan tinggi yang modern. Yang mana, hal itu kini telah dilaksanakan di UIN Malang. " Saya yakin sekali kalau dua tradisi ini digabungkan hasilnya luar biasa," jelanya. (*)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home