Monday, October 30, 2006

Diknas hanya Pantau Pembelajaran

Jawa Pos - Radar Malang, Jumat 27 Oktober 2006

Soal Tingginya Biaya Sekolah
MALANG - Mahalnya biaya pendidikan tampaknya telah menjadi fenomena di masyarakat. Menariknya di sini, dari data yang berhasil dihimpun, bukan hanya biaya masuk perguruan tinggi saja yang membutuhkan biaya selangit. Hal itu juga terjadi di tingkatan lembaga pendidikan pra sekolah formal atau lebih dikenal dengan sebutan play group dan taman kanak-kanak.

Bahkan, jika mau menelusuri lembaga-lembaga tersebut, kita akan disodorkan dengan beragam pilihan seputar biaya pendidikan untuk anak-anak usia dini (PAUD). Mulai dari angka ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Untuk di daerah pinggiran, mungkin biaya tak jadi soal. Sebut saja di kawasan Kecamatan Sukun. Untuk masuk play group atau taman kanak-kanak, para orang tua hanya merogoh kocek minimal Rp 70 ribu tiap bulannya sebagai ganti operasional atau SPP sang anak selama mengikuti pendidikan dan uang gedung minimal Rp 600 ribu. Bahkan, dengan SPP itu sang anak masih mendapatkan makan gratis dua kali.

Bagi masyarakat yang kondisinya berada di tingkatan ekonomi menengah, persoalan dana itu tak jadi soal. Tapi, bagaimana dengan masyarakat ekonomi bawah? Boro-boro untuk menyekolahkan anak di lembaga pendidikan berkualitas, untuk mencukupi kehidupan sehari-hari saja sudah sangat pas-pasan. Namun, sekali lagi itulah fakta yang tersaji. Dan, kondisi itu akan lebih parah jika kita mau merangsek ke tengah-tengah kota. Bayangkan saja, untuk masuk play group dan TK yang cukup punya nama dan telah berjajar dalam sederetan sekolah favorit, uang ratusan ribu sebagai tiket untuk menyekolahkan anak sama sekali tidak ada artinya. Sebab, minimal butuh dana Rp 1,5 juta sampai Rp 3,5 juta untuk memenuhi uang gedung. Angka itu belum termasuk SPP yang rata-rata berkisar antara Rp 115 ribu sampai Rp 200 ribu. Sungguh, sebuah fenomena yang sangat mencengangkan.

Tapi, apalah yang bisa diperbuat untuk mengoreksi kembali persoalan mahal dan tingginya persaingan ditingkatan PAUD tersebut. Pasalnya, hampir semua lembaga pendidikan anak dikelola secara swasta. Bahkan, dari total 257 lembaga pra sekolah yang ada di kota ini, hanya ada satu saja yang berstatus negeri, yaitu TK Pembina. Sedangkan 256 sisanya murni dikelola oleh swasta dengan sistem otonomi penuh. Bukan hanya soal manajemen saja, tapi juga mekanisme penarikan SPP dan uang gedung. "Untuk lembaga TK yang mayoritas dikelola swasta, Diknas memang tidak bisa berbuat banyak. Kami hanya bertugas memantau pembelajaran yang dilangsungkan," ungkap Kabid Dikdas Siti Masruroh.

Meski begitu, pihaknya tetap mengimbau meski biaya masuk pendidikan pra sekolah cukup tinggi, setiap lembaga harus tetap mewadahi anak-anak dari keluarga tidak mampu. Termasuk, memberikan celah berupa prosentase bagi anak-anak kurang agar tetap bisa menikmati fasilitas belajar seperti anak-anak lainnya. (nen)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home