Monday, October 30, 2006

Kemenangan yang Sejati

Jawa Pos - Radar Malang, Minggu 27 Oktober 2006

Kemenangan yang Sejati
Oleh M. Mas’ud Said

Hari hari ini, minggu ini, setelah Hari Raya usai, menurut keyakinan Islam dan ajaran kitab-kitab agama, kita ini sedang dalam masa kemenangan. Kita baru saja menyelesaikan training batiniah yang besar. Oleh-oleh kemenangan itu, tentu diupayakan dan dilakoni melalui perjuangan, dibarengi oleh keyakinan, dan perhitungan yang kuat atau istilah agamanya imaanan wah tisaaban.

Kemenangan ini, bukan kemenangan biasa. Bukan kemenangan dalam pengertian konvensional. Mungkin orang acapkali kita mengartikan kemenangan itu sebagaimana biasanya: seperti menang sepakbola. Menang judi atau gambaran mengalahkan orang lain. Kita sering mengira kalau ada orang lain kalah, kita sebut diri kita sedang menang.

Dalam ajaran Islam. Kemenangan yang sejati, yang hakiki, kemenangan yang beneran justru kalau kita memenangkan orang lain, tak perduli kita laba atau rugi. Kemengan yang sejati justru kalau kita mampu mengalahkan diri sendiri. Misalnya, mengurangi baju baru kta lalu diberikan kepada orang lain.

Dalam pengertian hakiki, kemenangan itu diartikan memberi, bukan menerima. Ajaran zakat misalnya, intinya seperti itu. Memberi, memberi, dan memberi.

Adalah sesat kalau kita bangga bila orang lain sengsara. Dalam keadaan orang lain kalah, sedih, malu, tak berpendapatan, bangkrut dan sengsara, kita mestinya merasakan hal yang hampir sama. Itu baru kita termasuk orang orang yang menang.

Pada saat banyak rakyat berjuang hidup dalam kesengsaraan, banyak pengemis tak tertolong, tuna wisma belum mendapatkan tempat berteduh. Jangan bicara kemenangan. Menurut ajaran Islam yang hakiki, adalah aneh kalau orang-orang kaya berpesta, dalam keadaan orang papa menderita.

Itulah arti Ramadan kemarin. Ramadhan disebut syahrul Juud, bulan di mana, kita diminta menebarkan kebaikan, keihsanan kepada semua orang, kepada lingkungan. Ini bukti bahwa untuk mencapai kemenangan kita kita memperhatikan orang lain.Ramadan adalah syahrus Shabri, bulan kesabaran. Untuk para pribadi, puasa adalah alat pengendalian diri yang hebat.

Jadi, kalau minggu-minggu ini pula, ada rasa niatan kita untuk mengalahkan orang lain dan meninggikan diri sendiri, maka belum pantas kita mendapat kemenangan sejati. Kemenangan yang demikian itu mungkin kemenangan yang disodorkan syetan kepada kita.

Dalam kitab Laa Tahzan, Innallaha Ma’anaa karangan ’Aid Al Qarnie disebutkan, bahwa kita tidak perlu membenci orang lain dengan asumsi kita akan bisa mengurangi kehormatan orang-orang yang kita benci itu. Kita akan mengalahkan orang lain itu kalau kita mencelanya.

Ternyata menurut Al Qanie, pengarang kitab terlaris di timur tengah itu menyangkal dengan menyodorkan ayat bahwa manusia tak akan mampu menambah dan mengurangi sedikitpun kenikmatan dan kehormatan orang lain dengan menghinannya, mencelanya atau membencinya.

Al Qarnie, yang hafal Al Qur’an itu menyarankan dirinya sendiri dan jutaan pembaca bukunya untuk santai saja terhadap kenikmatan yang diperoleh orang lain. Karena itu semua diperoleh karena kemurahan Allah swt. Dasar Al Qarnie ialah bahwa semua kenikmatan itu datangnya dari Allah.

Al Qarnie bukunya laris bukan kepalang karena kontroversinya untuk mengajak orang-orang berpikir positif. Bahkan dia mengajak tersenyum orang-orang yang dilanda kesedihan dan kekurangan. Dia sangat yakin dengan pengalaman dan kekayaannya mempelajari Al Qur’an bahwa Allah akan dekat kalau ,manusia dekat dengan Al Khalik.

Maka sesuatu ketika dia mendapati dirinya dan teman-temannya bersedih. Maka hal yang ia sarankan justru membaca kembali kitabnya Laa Tahzan (Jangan Bersedih), Innallaha Ma’anaa ( sesungguhnya Allah bersama Kita ).

Bayangkan saja, kalau orang orang di Irak, di Afghanistan, orang orang teraniaya di Palestina tak percaya Al Qarnie, tak percaya Allah dan Rasulnya tak percaya Qada’ dan Qodar. Pasti mereka akan sangat sangat bersedih. Mereka tentu putus asa.

Seumpama kita dikirimkan ke sana tanpa bekal keyakinan dan mendapati makanan di Jalur Gazza kosong selama seminggu, mungkin sudah ’no hope’ atau tidak ada harapan, mungkin frustasi. Tapi tidak bagi orang orang yang yakin akan kemurahan Allah.

Kalau di akhir puasa ini, kita yakin akan Rahman - Rahim Allah yang tak terbatas maka tentu kita boleh disebut seseorang yang telah dan akan mencapai kemenangan.

Dan begitu pula sebaliknya. (*)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home